Uniknya Tradisi dan Budaya Bali Aga di Desa Bayung Gede

Sumber: balipost.com

Desa Bayung Gede merupakan satu dari sejumlah Desa Bali Kuno atau Desa Bali Aga yang terletak di Pulau Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Karena terletak di ketinggian 800-900 meter dari atas permukaan laut, Desa Bayung Gede cenderung memiliki hawa sejuk, saat memasuki desa ini suasana pedesaan yang damai dan asri terasa sangat kental. Bangunan yang tertata rapi dengan pintu masuk (atau yang dikenal sebagai angkul-angkul) yang seragam dari ujung ke ujung menambah kesan Desa Bali Aga yang masih sangat terjaga kelestariannya. Masyarakat percaya bahwa Desa Bayung Gede merupakan desa adat yang menjadi induk dari desa-desa adat kuno lain yang berada di Kabupaten Bangli. Seperti Desa Bali Aga lainnya, Desa Bayung Gede masih sangat menjaga warisan budaya dan tradisi dari leluhur. Diantaranya aturan pernikahan, pemakaman, arsitektur rumah, dan tradisi keagamaan.
Dalam pernikahan, terdapat peraturan atau awig-awig bagi pasangan yang baru saja menikah (pengantin baru) wajib melakukan tapa brata yang dikenal sebagai penyekeban dengan tinggal di sebuah gubuk kecil yang berada di ujung Desa Bayung Gede. Dan pengantin baru juga harus membayar mas kawin berupa dua ekor sapi jantan yang akan diserahkan kepada pihak desa, dimana sapi tersebut nantinya akan dilelang kepada warga desa di luar keluarga pengantin. Jika pengantin belum membayar mas kawin tersebut, mereka tidak diperbolehkan memasuki pekarangan. Berbeda dengan sebagian besar desa adat di Bali, wilayah Desa Bayung Gede diperuntunkan untuk anak bungsu. Hak milik rumah dimiliki oleh anak bungsu, sehingga jika anak bungsu sudah menikah, maka ia yang akan tinggal di rumah tersebut dan anak sulung yang tertua harus meninggalkan rumah. Warga Bayung Gede juga menentang perkawinan antara orang yang masih memiliki hubungan darah seperti sepupu. Jika terjadi, mereka yang menikah antar sepupu akan diasingkan di tempat khusus yang bernama karang nyuang misan. Rangkaian upacaranya pun berbeda, upacara adat pernikahan akan dilakukan di depan perangkat desa dan juga akan melakukan hal unik seperti menyantap makanan langsung tanpa menggunakan tangan dari wadah palang bambu. Aturan lain dalam pernikahan di Desa Bayung Gede adalah larangan keras untuk berpoligami, Desa Bayung Gede percaya bahwa siapapun yang melakukan tindakan poligami, maka keluarganya akan tertimpa musibah. Oleh sebab itu, jika ada warga yang berpoligami akan diusir oleh warga desa untuk tidak tinggal di pekarangan desa pengarep, mereka juga tidak boleh tinggal di sebelah utara dan timur desa (luan pura) jadi warga yang berpoligami hanya boleh tinggal di sebelah barat dan selatan desa hal ini artinya mereka diasingkan atau dikucilkan. Untuk sanksi adat yang didapat jika ada warga yang berpoligami adalah si pria dengan istri pertamanya masih boleh mengikuti kegiatan dan upacara-upacara di pura. Sedangkan untuk istri kedua masih boleh ikut sembahyang namun tidak boleh lama-lama berada di kawasan pura, setelah sembahyang harus langsung kembali ke rumah. Oleh sebab itu warga bayung gede sangat jarang ada yang berpoligami.
Pemakaman di Desa Bayung Gede dibedakan berdasarkan jenis kelaimin. Perbedaannya terletak pada posisi jasad saat dikuburkan, jasad wanita akan diposisikan menghadap ke atas atau terlentang karena wanita merupakan simbol ibu dalam hal ini ibu pertiwi, sehingga harus menghadap langit. Sedangkan jasad laki-laki akan diposisikan menghadap ke bawah atau telungkup karena menyimbolkan laki-laki adalah langit atau akasa sehingga harus menghadap ke bumi. Terdapat perbedaan prosesi pemakaman bagi warga yang meninggal secara wajar, dengan warga yang meninggal secara tidak wajar. Perbedaannya adalah warga yang meninggal secara tidak wajar tidak boleh dimandikan di rumah duka dan akan dimakamkan pada pemakaman khusus. Berbeda dengan kebanyakan adat di Bali, di Desa Bayung Gede mayat hanya dikubur tidak dibakar. Dan yang terkenal dari Desa bayung gede, yaitu setra ari-ari. Ari-ari bayi yang baru lahir pada umumnya akan ditanam di sekitar pekarangan rumah, namun di Desa Bayung Gede, ari-ari akan diletakkan pada batok kelapa, diberi nama masing-masing kemudian digantungkan di pohon kayu bungkak yang terletak di setra ari-ari pada pagi dan sore hari, tidak boleh saat matahari terbit dan yang membawa ari-ari ke setra harus ayahnya atau seorang pria dengan membawa sabit, konon dulu kuburan tersebut adalah hutan sehingga bisa saja ada binatang buas yang datang ketika akan menggantungkan ari-ari sehingga harus pria yang membawa ari-ari tersebut. Warga desa percaya bahwa dengan cara ini dapat melindungi bayi dari penyakit dan gangguan mahluk halus. Keluarga yang baru saja menggantungkan ari-ari bayinya di setra ari-ari harus menandai rumahnya dengan daun pakis. Hal ini bertujuan untuk menandai bahwa di rumah tersebut baru saja ada bayi yang baru lahir sehingga pantang didatangi pendeta dan tokoh desa karena rumah masih dianggap leteh. Setelah satu bulan tujuh hari baru dapat dilaksanakan upacara penyucian pada pekarangan rumah sehingga keluarga bisa beraktivitas normal kembali. Jika ada warga yang terbukti melanggar tradisi ini maka ia harus membayar dengan 200 keping uang kepeng dan melaksanakan upacara untuk membersihkan kembali karang mereka dengan upacara yang dikenal sebagai mesayut.
Dilihat dari arsitektur, desa bayung gede menggunakan konsep hulu teben mirip dengan Desa Bali Aga lainnya. Hulu teben adalah konsep pembagian wilayah desa berdasarkan zona dari kegunaan wilayah tersebut. Zona hulu merupakan zona paling suci yang digunakan untuk kegiatan sakral keagamaan, sehingga zona hulu ini meliputi Pura-pura yang ada di Desa Bayung Gede. Selanjutnya zona tengah yang berada di antara zona hulu dan teben yaitu zona pemukiman warga yang digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Dan terakhir zona teben merupakan zona profan yang meliputi setra atau kuburan.  Keunikan yang menjadi ciri khas dari Desa Bali Aga yaitu wilayah desa dibagi dua yaitu oleh jalan utama desa atau sering disebut sebagai Rurung Gede atau Margi Agung yang membujur arah utara-selatan. Rurung Gede atau Margi Agung ini sekaligus menjadi penghubung zona hulu (sakral) dan teben (profan) desa. Akses untuk masuk ke Desa Bayung Gede berada pada zona hulu, hal ini berbeda dengan Desa Bali Aga yang pada umumnya yang memiliki akses masuk pada zona teben.
Selain beberapa hal di atas, desa bayung gede juga memiliki tradisi yang unik dan cukup terkenal yaitu tradisi perang suren. Tradisi ini diikuti oleh pemuda Desa Bayung Gede menggunakan media kayu suren, sebelum melaksanakan perang suren pemuda-pemudi dikarantina terlebih dahulu saat Ngusaba Lampuan. Karantina ini bertujuan untuk mengenalkan perang suren lebih dalam kepada pemuda-pemudi, juga untuk memberikan mereka pelatihan mengenai pelestarian budaya dan tradisi di Desa Bayung Gede seperti mejejaitan dan latihan mekidung. Tradisi ini dilaksanakan setiap 5 tahun sekali saat ngusaba lampuan yang bertujuan untuk menghormati Dewa Indra sebagai dewa perang. Demikiannlah beberapa keuinikan dari tradisi Desa Bali Aga pada Desa Bayung Gede, budaya dan tradisi leluhur yang masih sangat di jaga oleh warga meskipun di tengah pesatnya perkembangan zaman dewasa ini.

 

Penulis:
Ni Wayan Widya Ekarani – Jegeg Bangli 2021

Sumber-sumber:

Mahastuti, M. N. M., Utami, A. N. wayan, & Wijaatmaja, A. B. M. (2019). Keunikan Konsep Hulu Teben Karang Umah Desa Bayung Gede , Kintamani : Dialog Sistem Spasial Desa-Desa Bali Aga. Semarayana #1, 99–108.
Utik. (2018). Megintip Kesakralan Kuburan Ari-Ari di Desa Bayunggede Kintamani. Diakses pada 19 November 2021, dari https://www.nusabali.com/berita/34306/mengintip-kesakralan-kuburan-ari-ari-di-desa-bayunggede-kintamani
Bali Tours Club. (2021). Bayung Gede Kintamani. Diakses pada 19 November 2021, dari https://www.balitoursclub.net/bayung-gede-kintamani/
Suyatra. (2019). Warga Bayung Gede Pantang Poligami, Ini Sebabnya. Diakses pada 19 November 2021, dari https://baliexpress.jawapos.com/balinese/28/06/2019/warga-bayung-gede-pantang-poligami-ini-sebabnya/