
Disebut sebagai pulau Dewata, Bali merupakan tempat yang dikenal sebagai pulau seribu Pura, dimana alam, kekuatan dipersatukan untuk membawa keseimbangan kepada dunia. Kekayaan alam, spiritual dan keberagaman budaya menjadikan bali sebagai surga dunia. Keberagaman seni, budaya dan tradisi yang ada di Bali menjadi daya tarik utama bagi wisatawan untuk berkunjung ke Bali karena memiliki ciri khas yang sangat kental hingga tidak dapat ditemukan di daerah lain. Salah satu contoh tradisi khas Bali yaitu tradisi “Okokan” yang berasal dari kabupaten Tabanan.
Kabupaten Tabanan adalah sebuah kabupaten di provinsi Bali, terletak sekitar 35 km di sebelah barat kota Denpasar. Tabanan berbatasan dengan Kabupaten Buleleng di sebelah utara, Kabupaten Badung di timur, Samudra Indonesia di selatan dan Kabupaten Jembrana dibagian barat. Tabanan merupakan salah satu daerah di Bali yang memiliki potensi wisata yang besar. Ada banyak aspek wisata di Bali yang menarik minat wisatawan untuk berkunjung mulai dari aspek alam (nature), budaya (culture), kerajinan, kuliner dan hiburan. Sebagai daerah tujuan wisata, potensi wisata Kabupaten Tabanan cukup menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, salah satunya yaitu pada aspek tradisi dan budaya (culture). Kabupaten Tabanan dikenal memiliki banyak tradisi unik, bahkan tidak ada di daerah lain yaitu seperti “Tektekan Kediri-Nangluk Merana” atau lebih dikenal dengan nama tradisi Okokan yang diyakini sebagai upaya untuk menolak bala atau yang disebut dengan Nangluk Merana.
Tradisi Okokan ini memang belum memiliki prasasti atau lontar yang menuliskan mengenai sejarah dari tradisi Okokan ini. Namun, secara turun-temurun masyarakat setempat sudah mempercayai bahwa tradisi ini sudah ada sejak tahun 1960an. Tradisi Okokan ini berawal dari adanya tradisi Tektekan yang dilaksanakan ketika warga Kediri terkena serangan wabah penyakit atau disebut kabrebehan yang menyerang warga dari segala usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penyakitnya pun berbeda-beda, tanpa sebab yang pasti. Bahkan, ada warga yang meninggal dunia tiba-tiba. Saat itulah warga kemudian membunyikan suara dari beberapa alat, seperti alat pertanian, alat dapur, dan sebagainya sebagai upaya untuk menolak bala yang menyerang Desa Kediri.

Semenjak tahun 2014, masyarakat Desa Kediri sudah menyepakati pelaksanaan tradisi Okokan untuk diadakan setiap tahunnya, yaitu menjelang hari raya Nyepi, tepatnya saat umat Hindu merayakan hari raya Pengerupukan. Karena pada saat hari raya Pengerupukan masyarakat setempat tidak ada yang membuat pawai atau parade ogoh-ogoh, melainkan diganti dengan pelaksanaan tradisi Okokan. Pelaksanaannya pun wajib diikuti oleh seluruh banjar di Desa Kediri yang terdiri dari lima banjar, yaitu: Banjar Jagasatru, Banjar Sema, Banjar Puseh, Banjar Delod Puri, dan Banjar Panti. Bahkan, saat ini sebagian besar warga di desa Kediri dan sekitarnya sudah memiliki Okokan di rumahnya masing – masing, ada yang memiliki okokan karena memang ikut sebagai seka okokan dan ada juga yang memiliki okokan hanya untuk kesenangan atau koleksi.
Selain dilaksanakan saat menjelang perayaan hari raya Nyepi, Okokan juga kerap ditampilkan pada acara besar seperti. Pesta Kesenian Bali (PKB), Festival Tabanan, Festival Tanah Lot, Festival Legian, Festival Sanur, peresmian patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) tahun 2018, tampil pada acara Soundrenaline tahun 2018, kolaborasi dengan Banjar Gemeh Denpasar saat perayaan Pengerupukan 2019, bahkan pementasan Okokan sudah sampai ke luar daerah seperti Jawa Timur untuk memeriahkan acara festival budaya. Yang membuat Okokan semakin Mataksu (punya daya magis) adalah hiasan tapel atau lukisan dengan wajah Boma. Boma merupakan ciri khas Okokan dimiliki Desa Kediri yang memiliki makna keangkaramurkaan atau kemarahan. Sehingga, melaksanakan tradisi ini dipercaya akan mampu menetralisasi sifat-sifat negatif yang ada di Desa Kediri. Ada yang menggunakan lukisan pada alat dan ada juga yang menggunakan tapel berwajah Bomo yang merupakan ciri khas Banjar Delod Puri. “Wajah Bomo menggambarkan keangkaramurkaan (kemarahan) dan sifat sifat negatif. Sehingga dengan ditarikannya akan mampu mentralisasi sifat-sifat negatif dari bumi ini, khususnya Desa Kediri,” papar masyarakat setempat. Tak hanya itu, Okokan ini juga dihiasi seperti wastra (kain) berwarna poleng atau hitam putih. Biasanya tradisi ini dilaksanakan oleh 40 hingga 50 orang yang mengenakan pakaian khusus yang sudah ada. Kemudian, pelaksanaannya juga dikomandoi seorang penabuh yang memainkan kleneng. Semakin cepat tempo kleneng akan diikuti oleh tempo Okokan yang juga diiringi gamelan Baleganjur.
Menurut informasi yang diberikan oleh pengurus Seka Okokan, sebelum tampil di desa, luar desa atau luar daerah, timnya selalu memohon doa restu atau mapamit terhadap Sasuhunan Okokan untuk berkah atau pamit. Jadi, ini bukan sekedar pementasan, melainkan tetap yakin nyolahan Ida Sasuunan. “Konsep kami tetap Nangluk merana atau menetralisisasi aura negatif dari wilayah atau area pertunjukan,” pungkas seorang pengurus Seka Okokan di Desa Kediri.
Tradisi Okokan merupakan warisan leluhur yang harus selalu kita lestarikan. Sebagai generasi muda Bali kita harus senantiasa semangat melestarikan tradisi dan budaya daerah yang kita miliki karena selain untuk menjaga kelestarian dari keberagaman budaya yang ada di Bali, tradisi dan budaya bali merupakan salah satu daya tarik yang sangat kuat dan merupakan ciri khas yang dimiliki Bali untuk menarik wisatawan.untuk berwisata ke Bali.

Kebudayaan Bali sebenarnya merupakan manifestasi dari interaksi antara masyarakat Bali dengan lingkungan. Dalam kosmologi Bali, lingkungan dibagi menjadi dua jenis, yaitu lingkungan sekala (nyata) dan lingkungan niskala (tidak nyata). Lingkungan sekala meliputi lingkungan sosial (masyarakat) dan lingkungan fisik (alam sekitarnya). Lingkungan niskala merupakan sejenis lingkungan spiritual, yang dihuni oleh kekuatan – kekuatan supernatural atau adikodrati, dan dapat menimbulkan pengaruh positif atau negatif bagi kehidupan manusia. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, masyarakat Bali selalu berusaha untuk menjaga hubungan yang serasi dan seimbang dengan lingkungan. Hal trersebut tercermin dalam konsep Tri Hita Karana yang artinya “tiga penyebab kesejahteraan” (Tri = tiga, Hita = sejahtera, dan Karana = sebab), yang terdiri dari : parhyangan (lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan fisik).
Ketiga unsur tersebut (parhyangan, pawongan, dan palemahan) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Diyakini bahwa hubungan yang serasi dan seimbang antara ketiga unsur tersebut akan membawa manfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Sebaliknya, hubungan yang tidak seimbang atau hubungan yang hanya mengutamakan aspek tertentu saja diyakini akan dapat mengancam kesejahteraan hidup manusia.
Penulis:
I Gede Billy Aditya Agansa – Bagus Tabanan 2021
Penyunting:
Cok Gede Bagus – Jegeg Bagus Bali
Sumber-sumber:
[1] https://potretbali.blogspot.com/2013/01/parae-budaya-tabanan.html
[2] https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3666308/foto-karnaval-budaya-bali-meriahkan-pertemuan-tahunan-imf-world-bank-group-2018?page=1
[3] tatkala.co/2021/06/20/panggung-seni-tradisi-okokan-nangluk-merana-di-tanah-lot/
[4] https://www.indovoices.com/budaya/dengan-bunyikan-okokan-presiden-jokowi-buka-karnaval-budaya-bali/
[5] Windutama I Wayan, Sunarta I Nyoman dan Wijaya NMS. 2020. “Komodifikasi dalam Pengembangan Tradisi Okokan Sebagai Atraksi Wisata di Desa Kediri, Tabanan”. JUMPA Volume 6, Nomor 2, Universitas Udayana.