Sebuah Warisan Budaya Turun-temurun yang Kembali Bangkit di Tengah Pandemi

Tidak selamanya pandemi Covid-19 memberikan kisah pilu. Nyatanya di tengah kesulitan ini warga Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Gianyar, justru mampu membangkitkan semangat untuk membangun pariwisata dan perekonomian melalui sebuah warisan turun-temurun yang sempat terlupakan selama 25 tahun. Warisan apa itu?
Siang itu, Sabtu (13/11) suasana mendung menyelimuti Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Gianyar. Dari kejauhan terdengar suara hentakan kayu yang khas dari rumah salah satu warga. Sesosok perempuan tua dengan telaten menyusun helai demi helai benang, memasukkan sebilah bambu di antara untaian benang yang tersusun, kemudian menghentakkan bambu yang lebih besar ke arah bawah. Kurang lebih itulah rutinitas Dadong Klemik (74) yang masih semangat menggeluti kerajinan tenun bersama beberapa perempuan lainnya di kelompok tenun Sari Bhakti. Kelompok ini terbentuk karena kesamaan visi dari anggotanya untuk membangkitkan kembali Tenun Cagcag khas Desa Pejeng Kangin.
Tenun Cagcag sebelumnya pernah menjadi primadona tekstil yang banyak diproduksi oleh warga Desa Pejeng Kangin. Namun seiring berkembangnya industri perhotelan di Bali, warga Desa Pejeng Kangin mulai meninggalkan kegiatan menenunnya dan beralih menjadi pekerja hotel dan spa. Hal ini membuat Tenun Cagcag sempat menghilang dari Desa Pejeng Kangin selama 25 tahun.
“Dulu ketika saya masih remaja, di Desa ini banyak sekali penenun Tenun Cagcag. Bahkan hampir setiap rumah pasti mempunyai alat tenun.” Kenang Dadong Klemik.
Ia juga menambahkan bahwa kain tenun hasil produksi rumahan warga desanya menjadi salah satu pemasukan utama yang bisa digunakan untuk menyambung hidup sampai menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Hal ini senada dengan pernyataan Ni Wayan Murtini (41) yang kerap disapa Ibu Apel. Beliau adalah orang yang memprakarsai kebangkitan kegiatan menenun di Banjar Pesalakan. Ibu Apel yang prihatin akan kondisi warga banjarnya yang harus dirumahkan karena pandemi, mengajak beberapa orang untuk belajar menenun, kegiatan yang pernah menjadi rutinitas warga di Desa Pejeng Kangin.

“Daripada diam di rumah, mengeluh, mengeluh, dan mengeluh, tanpa berbuat apa, saya pikir lebih baik berkegiatan yang bisa menghasilkan uang untuk bisa tetap hidup. Dan menenun adalah kegiatan yang paling mungkin kami lakukan, karena bisa dilakukan di rumah masing-masing.” Ujarnya.
Ibu Apel mulai melatih beberapa ibu rumah tangga di lingkungan Banjar Pesalakan sejak Mei 2020. Tidak disangka-sangka antusias warga begitu besar, dari yang awalnya hanya beberapa orang, kemudian bertambah menjadi 12 orang, hingga akhirnya saat ini ada 35 orang penenun di Banjar Pesalakan. Baginya ini adalah sebuah awal yang sangat baik, mengingat dulu Tenun Cagcag begitu populer hingga mampu mengangkat pariwisata di desanya. Tidak sampai di situ, antusias menenun ini juga diminati oleh beberapa remaja putri di lingkungannya. Ini menjadi angin segar di tengah pandemi yang sudah berlangsung hampir 2 tahun lamanya. Regenerasi untuk melestarikan Tenun Cagcag tentu saja menjadi sebuah harapan baik untuk mempopulerkan kembali Tenun Cagcag sebagai salah satu produk tekstil tradisional andalan dari Bali.
Ni Putu Ayu Putri Saraswati (12) atau yang kerap disapa Gek Rara merupakan satu dari beberapa penenun remaja di kelompok penenun Sari Bhakti. Sebagai penenun termuda, ia mengaku tertarik belajar menenun karena melihat ibu dan neneknya menjadikan kegiatan menenun sebagai rutinintas baru selama pandemi berlangsung.
“Karena bosan dengan kegiatan belajar online, saya jadi ingin mengisi waktu saya dengan kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan menenun ini juga menjadi bentuk kecintaan saya terhadap warisan budaya leluhur saya. Saya ingin menjadi penenun hebat seperti nenek saya, bisa melestarikan budaya, sekaligus membantu keluarga mendapatkan uang.” Ungkap dara cantik kelahiran 2009 ini.

Gek Rara dan beberapa teman seumurannya mengaku saat pertama kali belajar menenun menemui banyak kesulitan, terutama kesulitan dalam membuat beberapa motif khas Tenun Cagcag dari Banjar Pesalakan.
Ciri khas Tenun Cagcag dari Banjar Pesalakan dibandingkan dengan Tenun Cagcag dari daerah lain terletak pada motifnya. Motif khas dari Tenun Cagcag Banjar Pesalakan adalah motif Gegambiran yang memiliki detail lubang-lubang di tengah kainnya. Lubang-lubang ini tidak dibuat dengan melubangi kain setelah selesai ditenun, tapi dibentuk selama proses menenun dengan teknik menenun khusus yang menghasilkan detail lubang berbentuk kotak-kotak kecil seperti tempat gambir (salah satu bahan untuk menyirih). Motif Gegambiran ini kemudian mengalami perkembangan dengan mengkombinasikannya dengan beberapa motif lainnya, salah satu yang terkenal adalah motif Rangrang Gegambiran. Adapun motif lain yang menjadi ciri khas Tenun Cagcag di Banjar Pesalakan yaitu motif Katak Ningkang, Bungan Gunggung, dan beberapa motif songket lainnya. Khusus untuk motif Katak Ningkang biasanya dikerjakan oleh penenun usia lanjut, karena untuk membuat motif Gegambiran diperlukan ketelitian dan teknik khusus yang cukup rumit untuk dilakukan oleh para lansia.
Warga Desa Pejeng Kangin masih memegang teguh prinsip yang diyakini sejak dulu mengenai aturan menenun. Salah satunya adalah kegiatan menenun hanya boleh dilakukan oleh wanita. Tidak heran semua anggota penenun di kelompok tenun Sari Bhakti adalah wanita. Selain itu, ada beberapa pantangan yang harus dihindari oleh para penenun yaitu, tidak boleh menenun saat rahinan (hari raya), menenun tidak boleh sampai lewat sandhi kala (petang), dan wanita yang sedang haid tidak diperkenankan untuk menenun.
“Pernah suatu ketika kami mengejar pesanan dari pihak ekspatriat yang memaksa kami untuk mengerjakan kain tenun sampai malam, tanpa diduga ada saja kejadian aneh selama pengerjaannya, dari benang putus berkali-kali, sampai alat tenun yang bergerak sendiri.” Terang Ibu Apel sambil mengelus lengannya yang merinding.
Sejak saat itu para penenun sepakat untuk tidak melanggar aturan yang sudah diyakini sejak dulu di Desa Pejeng Kangin.
Teknik pewarnaan pada benang tenun untuk Tenun Cagcag mengalami perkembangan. Teknik pewarnaan benang tenun untuk tenun Cagcag ada dua yaitu, pewarnaan alami dan pewarnaan kimia. Pewarnaan alami memiliki keunikan tersendiri karena tingkat kesulitannya untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Selain itu, untuk mendapatkan warna yang sama juga terbilang cukup sulit karena hasil akhir pewarnaan alami tergantung dari warna bahan alam yang digunakan, proses pengeringan, hingga paparan sinar matahari. Kesulitan inilah yang membuat harga tenun Cagcag dengan warna alam menjadi lebih mahal dibandingkan warna kimia. Tenun Cagcag warna alam sangat diminati oleh kolektor tenun dan pelaku fesyen karena memiliki nilai estetik yang tinggi dan memiliki kesan berkelas. Berbeda dengan warna alam, warna kimia memiliki warna yang lebih berani dan menyala. Biasanya tenun Cagcag warna kimia digunakan untuk keperluan asesoris dan souvenir.
Penggunaan Tenun Cagcag sebelumnya hanya sebatas kelengkapan pakaian tradisional atau pakaian ke Pura seperti, kamen, selendang, saput, dan udeng. Namun kini Tenun Cagcag sudah dilirik oleh pelaku fesyen hingga pelaku industri perhotelan, dari tas jinjing, pouch, syal, sampai dekorasi dinding, meja, tempat tidur, dan lainnya untuk mempercantik tampilan kamar hotel atau villa.
Santi Indrawati Astawa (35) yang kerap disapa Ibu Santi adalah salah satu tokoh desa yang memprakarsai terbentuknya kelompok tenun Sari Bhakti di Desa Pejeng Kangin bersama Ibu Apel. Pengalamannya yang pernah bekerja sebagai staf marketing di sebuah spa membuatnya cukup terampil dalam memasarkan hasil tenun warga banjarnya melalui media sosial, terutama Instagram. Selain itu dukungan dari beberapa pihak seperti, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Gianyar, Pemerintah Kabupaten Gianyar, dan komunitas ekspatriat di Kabupaten Gianyar membuat antusias dari anggota kelompok tenun Sari Bhakti semakin meningkat. Harapan Ibu Santi adalah menjadikan Desa Pejeng Kangin sebagai Desa Wisata dengan produk unggulan berupa Tenun Cagcag. Ia juga menambahkan, mimpi besarnya bisa menjadikan beberapa rumah warga sebagai Guest House, sehingga konsep desa wisata yang ditawarkan adalah Going Native yaitu dengan mengikuti kegiatan sehari-hari warga Desa Pejeng Kangin, termasuk menenun. Baru-baru ini beberapa stasiun televisi nasional dan internasional meliput kelompok tenun ini, bahkan pihak dari Jepang mengadakan online tour di lingkungan Banjar Pesalakan yang disaksikan langsung oleh masyarakat Jepang secara online.
“Sebenarnya saya tidak menyangka mimpi sederhana ini, yang awalnya hanya untuk mengisi waktu, bisa jadi sebesar ini. Dari hanya usaha kecil rumahan, terbentuk kelompok tenun, sampai bisa bekerja sama dengan beberapa pihak, sampai beberapa waktu lalu hasil tenun kami dipakai langsung dalam sebuah event besar. Ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan.” Tutup Ibu Santi dengan mata berkaca-kaca.
Penulis:
Ida Bagus Sony Andara Putra, SH. – Bagus Gianyar 2021