Tari Baris Cina : Bukti Peradaban, Akulturasi, dan Harmoni Dalam Keberagaman

Tari Baris Cina merupakan tarian tradisional Bali yang hanya ada di Desa Adat Renon, dan Desa Adat Semawang, Sanur, Kota Denpasar yang konon lahir pada abad X (Karmini, 2020). Tari baris Cina ditarikan oleh dua kelompok penari laki-laki yang terdiri atas sembilan orang di setiap kelompoknya. Para penari akan mengenakan kostum berupa celana panjang dan baju berlengan panjang serba hitam dan putih, yang merepresentasikan konsep Rwa Bhineda, dua sisi berlawanan yang selalu berdampingan di alam semesta, atau konsep Yin-Yang dalam ajaran Tionghoa. Selain itu, para penari akan mengenakan topi bundar dan membawa senjata berupa pedang. Bahkan, gerakan tarian ini menyerupai gerakan kung fu, sehingga semakin menunjukkan adanya pengaruh budaya Tionghoa (Payuyasa, 2016). Berbeda dengan Tari Baris lainnya yang diiringi dengan alunan musik yang dinamis, Tari baris Cina diiringi dengan sebuah alat musik khusus yang disebut dengan Gong Beri. Gong Beri adalah alat musik yang disakralkan oleh masyarakat Desa Adat Renon dan dipercayai bahwa alat musik tersebut dibawa oleh para leluhur mereka ketika bermigrasi dari Blanjong menuju kawasan Renon (Payuyasa, 2016). Gong Beri tersusun atas beberapa jenis instrumen, meliputi dua buah gong beri yang bersuara bar dan ber, sebuah klenteng, kendang beduk besar, tawa-tawa, tiga buah gong, dan satu buah sunggu (alat musik tiup dari kerang). Konon alat musik tersebut merupakan gamelan perang yang dapat meningkatkan semangat para prajurit (Bandem, 1983).

Gambar: (1) Tari Baris Cina, (2) Gong Beri Sumber: Payuyasa, 2016

Tari Baris Cina biasanya ditarikan pada hari-hari tertentu yang diawali dengan upacara adat dan dipimpin oleh pemangku setempat. Selain itu, Tari Baris Cina juga ditarikan ketika adanya masyarakat yang hendak membayar kaul (Karmini, 2020). Secara teknis, Tari Baris Cina dibagi menjadi tiga babak, yang diawali oleh penari berkostum hitam, lalu dilanjutkan dengan penari berkostum putih pada babak kedua. Pada babak pertama dan kedua, para penari akan menunjukkan gerakan-gerakan yang mencerminkan kepahlawanan. Pada babak ketiga, kedua kelompok akan berbaris berhadap-hadapan dan menari bersamaan layaknya sebuah peperangan (Mudra, 2001). Tari Baris Cina dipercayai memiliki berbagai kegunaan, yakni sebagai pelindung desa yang akan menjauhkan para penganutnya dari mara bahaya. Ida Ratu Tuan yang berupa Tari Baris Cina diyakini dapat mengatasi segala kesulitan dan ancaman bagi anggota masyarakatnya melalui yadnya, sehingga diharapkan dapat mewujudkan keharmonisan dan keselarasan manusia dengan  alam semesta. Tari Baris Cina adalah tarian yang sangat disakralkan oleh masyarakat Desa Adat Renon dan Sanur. Apabila tarian ini tidak ditarikan dalam suatu upacara adat, maka upacara tersebut dianggap kurang mantap, sehingga Tari Baris Cina berfungsi sebagai tari wali (Mudra, 2020).
“Sagilik Saguluk Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya, Saling Asah, Asih lan Asuh” Sebuah kutipan Bali yang berarti semangat kebersamaan dalam keberagaman (Winaja,2019), kesadaran bahwa kita adalah makhluk sosial yang saling melengkapi dan saling membutuhkan (Sriartha,dkk, 2020), serta adanya kesetaraan, cinta kasih, dan membina kerukunan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk (Mertayasa, 2020). Tari Baris Cina mengandung makna yang sangat mendalam terkait keberagaman budaya, etnis, dan agama yang melebur hingga membentuk suatu keharmonisan. Melalui tarian ini dapat kita pahami bahwa perbedaan dapat disatukan ketika adanya upaya penyesuaian serta sikap saling menghormati dan menerima antar insan manusia. Tari Baris Cina yang sarat akan makna toleransi dalam keberagaman, masih dilestarikan dan dijunjung hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali, khususnya Kota Denpasar sangat menghormati toleransi demi menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial yang multikultur.
Tari Baris Cina mengandung berbagai nilai penting yang bisa dipelajari dan diimplementasikan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Toleransi merupakan sikap yang saling menghormati dan menghargai orang lain, sehingga tidak terjadi diskriminasi terhadap kelompok lainnya (Bakar, 2016).  Dalam Tari Baris Cina, tersirat makna bahwa masyarakat Bali kuno menjunjung tinggi nilai toleransi dan adanya kesediaan untuk menerima serta menghormati budaya asing, sehingga terbentuk suatu keselarasan yang utuh. Terjadinya akulturasi budaya dalam Tari Baris Cina membuktikan bahwa masyarakat Bali kuno memiliki pola pikir yang terbuka terhadap perubahan. Sebagai generasi muda sekaligus rakyat Indonesia, sudah seharusnya kita menjalin kerja sama, demi menumbuhkan toleransi dengan saling menghormati, menghargai, dan menerima berbagai perbedaan yang ada. Menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman adalah spirit dalam membentuk persatuan dan kehidupan yang rukun, damai, dan bahagia. Selain itu diperlukan edukasi pada anak-anak mengenai pentingnya toleransi demi menumbuhkan jiwa nasionalisme dan rasa cinta tanah air sejak dini. Hal ini sejalan dengan program pendidikan karakter, sehingga meningkatkan pola pikir dan kualitas generasi penerus bangsa. Semangat toleransi dan nasionalisme harus terus digaungkan, demi menciptakan keselarasan dalam keberagaman. Di bawah nama besar negara Kesatuan Republik Indonesia, yang disatukan dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Suatu kekayaan berupa tradisi, adat istiadat, dan budaya harus selalu dilestarikan. Begitu pula pada Tari Baris Cina yang harus dilestarikan demi menjaga eksistensinya di tengah perkembangan zaman. Sebagai upaya pelestarian sekaligus pencegahan dari kepunahan, Tari Baris Cina sudah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2018. Selain itu, pemanfaatan kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan sebagai media promosi sekaligus memperkenalkan Tari Bari Cina kepada masyarakat dan wisatawan. Misalnya adalah dengan membuat video dokumenter, lalu diposting melalui media Youtube, dan Instagram. Selain itu, siaran radio juga dapat dimanfaatkan sebagai media promosi, terlebih bagi penyandang tuna netra sehingga tarian ini semakin dikenal oleh banyak orang. Tari Baris Cina merupakan inventaris kebudayaan yang harus dijaga demi mencegah adanya klaim sepihak dan kepunahan. Spirit dalam tari baris Cina mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati antar masyarakat. Oleh karena itu, mari tumbuhkan jiwa toleransi demi mewujudkan Indonesia yang damai dan bersatu dalam keberagaman.

 

Penulis:
I Gusti Ngurah Agung Gede Bramasta Ktana – Bagus Denpasar 2021

Sumber-sumber:

Bakar, A., 2016. Konsep toleransi dan kebebasan beragama. Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama7(2), pp.123-131.
bali.bps.go.id., 2018. Penduduk Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Status Migrasi Seumur Hidup Hasil Sensus Penduduk 2010. Diakses pada 15 November 2021. https://bali.bps.go.id/statictable/2018/02/15/37/penduduk-provinsi-bali-menurut-kabupaten-kota-jenis-kelamin-dan-status-migrasi-seumur-hidup-hasil-sensus-penduduk-2010.html
Bandem, 1983. Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar. Akademi Seni Tari Denpasar.
Karmini, N. W., 2020. Tari Baris Cina Sebagai Upaya Merawat Negara Multikultural. Universitas Hindu Indonesia, Denpasar.
Mertayasa, I.K., 2020. Tat Twam Asi: Landasan Moral Untuk Saling Asah, Asih Dan Asuh. Jayapangus Press Books, pp.85-100.
Mudra, 2001. Jurnal Seni Budaya. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar.
Payuyasa, 2016. Tari Baris Rasa Cina, Institut Seni Indonesia, Denpasar
Poerwanto, H., 1999. Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional. Humaniora11(3), 29-37.
Sriartha, I.P. and Kertih, I.W., 2020, May. Subak Local Wisdom as Social Studies Learning Source in Junior High School. In 4th Asian Education Symposium (AES 2019). Advances in Social Science, Education and Humanities Research (Vol. 438, pp. 23-27).
Winaja, I., Prabawa, I.W.S.W. and Pertiwi, P., 2019. Acculturation and its effects on the religious and ethnic values of Bali’s Catur village community. Journal of Social Studies Education Research10(3), pp.249-275.