Omed-Omedan : Sebuah Tradisi Historis Sarat Akan Nilai Saling Asah, Asih, Asuh yang Sering Disalahartikan

Setiap daerah di negeri ini tentu memiliki tradisi dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing. Tradisi merupakan bagian dari budaya yang dilakukan secara turun-temurun oleh sekelompok masyarakat di derah atau wilayah tertentu berlandaskan sistem kepercayaan yang dianut. Selain menjadi identitas suatu daerah, tradisi kerap menyimpan makna filosofis untuk mengajarkan nilai kehidupan pada generasi penerusnya. Adapun salah satu tradisi yang terkenal di Kota Denpasar, yaitu Omed-omedan.

Ilustrasi Permainan Omed-omedan (Sumber: Teruna Teruni Kota Denpasar 2020)

Definisi Omed-omedan
Omed-omedan adalah tradisi yang berasal dari Banjar Kaja, Desa Sesetan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Secara terminologi, omed-omedan berasal dari kata omed yang berarti tarik atau med-medan yang berarti saling tarik-menarik. Tradisi omed-omedan dilaksanakan tepat satu hari setelah Hari Raya Nyepi atau yang dikenal dengan Hari Ngembak Geni. Peserta yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi ini adalah teruna-teruni (muda-mudi) Banjar Kaja, Sesetan dengan rentang usia 17-30 tahun dan belum menikah.
Berbicara tentang omed-omedan, hal paling melekat dibenak masyarakat adalah penggalan lirik musik pengiring tradisi ini.
Omed-omedan.. saling gelutin, saling kedengin (Omed-omedan.. saling berpelukan, saling menarik)
Diman diman (Cium-cium)
Omed-omedan.. besik ngelutin, ne len ngedengin.. (Omed-omedan.. yang satu memeluk, yang lain menarik)
Diman diman (Cium-cium)
Begitulah penggalan lirik musik pengiring yang mem-branding dan menjadikan ciri khas dari tradisi omed-omedan. Di balik keunikannya, banyak orang awam yang menyalahartikan pelaksanaan tradisi ini sebagai ajang untuk mengumbar nafsu belaka (berkaitan dengan ciuman). Padahal jika ditinjau dari sisi historis dan filosofi, tradisi adat ini mengandung nilai saling asah, asih, asuh antar masyarakat Banjar Kaja yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup secara berkelanjutan.

Sejarah Omed-omedan
Menurut sumber, tradisi omed-omedan sudah ada sejak abad ke-17. Secara historis, pelaksanaan tradisi omed-omedan diawali dengan kepercayaan warga di Kerajaan Puri Oka yang terletak di Denpasar Selatan. Dikisahkan Anak Agung Made Raka yang menjadi pemacuk (raja) di Kerajaan Puri Oka menderita sakit keras menjelang Hari Raya Nyepi. Walau sudah  diobati oleh beberapa dukun (balian), beliau tidak kunjung sembuh. yang membuat beliau tidak pernah terlihat di sekitar kerajaan. Hal ini menimbulkan rasa khawatir warga terhadap rajanya. Karena hal tersebut, tepat sehari setelah Hari Raya Nyepi warga di sekitar kerajaan berinisiatif untuk membuat kegaduhan guna memancing raja untuk keluar dan menemui mereka.
Warga yang terdiri dari pemuda dan pemudi ini membagi diri menjadi dua deret kelompok yang saling berhadapan serta berpegangan satu sama lain.  Kedua kelompok ini saling tarik-menarik ke arah yang berlawanan dengan sorak-sorai suka cita yang menimbulkan suara berisik. Mendengar adanya keributan tersebut, Raja Puri Oka yang sedang sakit merasa terusik. Hal ini membuat beliau bangun dan berjalan dengan terhuyun-huyun untuk menghentikan sumber kegaduhan.
Setelah menelusuri kerajaan, sang raja menemukan sumber kegaduhan yang berasal dari depan kerajaan. Raja melihat dua kelompok pemuda-pemudi yang sedang bersuka cita bermain, saling tarik-menarik, dan rangkul-rangkulan. Kemudian, terjadi suatu keanehan ketika raja melihat warganya mengadakan permainan tersebut tiba-tiba raja tidak merasakan sakit dan sehat seperti sedia kala. Atas kesembuhannya, sejak saat itu beliau bersabda agar permainan ini diselenggarakan secara rutin setiap Hari Ngembak Geni sebagai wujud rasa saling asah, asih, asuh antar warga di Banjar Kaja.
Pada suatu ketika, Pemerintah Belanda yang saat itu menjajah merasa gerah dengan upacara tersebur dan melarang untuk melaksanakan ritual permainan omed-omedan. Namun, setelah tradisi ini dihentikan terjadi sebuah kejadian aneh, yaitu ada dua ekor babi hutan yang saling berkelahi di depan pelataran pura (tempat digelarnya permainan omed-omedan). Warga menganggap kejadian sebagai sebuah pertanda buruk. Melihat pertanda ini, Raja dan warga meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah mendapat keputusan bersama, tradisi ini kembali dilaksanakan dan digelar secara rutin tiap tahun.

Pelaksanaan Tradisi Omed-Omedan

Persembahyangan bersama sebelum ritual Omed-omedan (Sumber: Tribunnews.com)

Sebelum kegiatan omed-omedan dimulai, seluruh peserta melaksanakan persembahyangan bersama di Pura Banjar Kaja. Melalui persembahyangan bersama ini, para peserta memohon kebersihan hati dan kelancaran dalam pelaksanaan ritual omed-omedan. Setelah persembahyangan bersama, dilanjutkan dengan pertunjukan tari barong bangkung (barong babi) yang memiliki makna untuk mengingat kembali tragedi beradunya sepasang babi hutan yang pernah terjadi di desa ini.
Dalam pelaksananaannya, dua kelompok (teruna dan teruni) berbaris saling berhadap-hadapan dan dipandu oleh pecalang (tim keamanan desa setempat). Kemudian, dipilih seorang dari masing-masing kelompok secara bergantian untuk diangkat dan diarak pada posisi paling depan barisan. Kedua kelompok ini saling beradu dan perwakilan sepasang muda-mudi yang diposisikan paling depan harus saling berpelukan satu sama lain. Saat keduanya saling berpelukan, masing-masing kelompok akan menarik kedua rekannya tersebut hingga terlepas satu sama lain. Jika pelukan dua orang muda-mudi tersebut tidak dapat dilepaskan, panitia akan menyiram mereka dengan air hingga basah kuyup. Ketika pasangan muda-mudi saling bertemu dan berpelukan erat, ada kalanya mereka akan saling beradu pipi, kening, dan bahkan bibir akibat gaya tarik-menarik antar dua kelompok.
Masyarakat awam yang menyaksikan pertunjukan ini sering menganggap hal tersebut sebagai ajang untuk saling berciuman. Padahal kenyataan dan makna dari pelaksanaan omed-omedan bukanlah demikian. Hal tersebut menjadi cikal bakal persepsi tentang tradisi omed-omedan sering disalahartikan tanpa didasari dengan pengetahuan histori dan filosofi. Tradisi omed-omedan yang sarat akan makna spiritualnya secara gamblang mendapat sebutan sebagai ritual ciuman massal dari Desa Sesetan. Kekeliruan terhadap tradisi tersebut sudah sepatutnya diluruskan.

Tradisi Yang Menjadi Daya Tarik Wisata

Pelaksanaan Omed-Omedan yang ramai ditonton oleh wisatawan (Sumber: Tribunnews.com)

Di masa lalu, masyarakat Banjar Kaja, Sesetan menganggap tradisi omed-omedan sebagai bagian dari wujud masima krama atau dharma shanti guna menjalin silaturahmi antar sesama warga. Namun seiring berjalannya waktu, atas keunikan tradisi ini ternyata menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi wisatawan utamanya dari mancanegara. Menyadari hal ini, masyarakat setempat kemudian mengemas tradisi omed-omedan menjadi sebuah festival warisan budaya tahunan yang bertajuk Omed-omedan Cultural Heritage Festival. Maka dari itu, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan Tradisi Omed-Omedan sebagai salah satu Daya Tarik Wisata di Wilayah Sesetan yang secara yuridis tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2018-2029.
Di sisi lain, festival ini juga dimeriahkan dengan adanya bazaar dan panggung pertunjukan. Dari tahun ke tahun jumlah pengunjung festival ini terus mengalami peningkatan. Terlebih lagi dengan datangnya orang atau kelompok penggemar fotografi akan menjadikan festival ini sebagai kesempatan emas. Mereka saling berantusias untuk mengabadikan momen-momen tertentu sebagai objek fotografi yang dapat dibagikan pada media sosial maupun di pameran foto. Dengan adanya festival ini juga secara langsung telah membantu perekonomian masyarakat khususnya masyarakat lokal dengan menjual makanan dan minuman di sekitaran Banjar Kaja.

Spirit Persatuan dan Kesatuan Tradisi Omed-omedan

Ilustrasi Kelompok Teruna dan Teruni dalam Tradisi Omed-Omedan (Sumber: Teruna Teruni Kota Denpasar 2020)

Dari pemaparan tentang definisi, sejarah, hingga pelaksanaan tradisi omed-omedan, terkandung nilai Tri Hita Karana yang sudah sepatutnya diindahkan dalam kehidupan ini. Hal ini tercermin pada pelaksanaan persembahyangan bersama sebelum memulai kegiatan omed-omedan. Kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk memohon restu dan kelancaran dalam melaksanakan kegiatan erat kaitannya dengan konsep Parahyangan (keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan). Selanjutnya, spirit kebersamaan, solidaritas serta rasa saling asah, asih, asuh antara pemuda-pemudi merupakan pengamalan dari konsep Pawongan (keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia). Selain itu, dengan diadakannya tradisi ini juga dapat menunjang kesejahteraan masyarakat dengan mendukung perekonomian masyarakat lokal. Penerapan nilai yang terakhir adalah berkaitan dengan keseimbang hubungan antar manusia dengan lingkungan (alam semesta) yang merupakan wujud pelaksanaan dari konsep Palemahan. Diyakini dengan digelarnya tradisi ini dapat menjaga dan melindungan kehidupan masyarakat dari mara bahaya.

 

Penulis:
I Gusti Ayu Intan Chandra Dewi – Jegeg Denpasar 2021

Sumber-sumber:
Artini dan Wartha, 2015, “Tradisi Omed-Omedan Sebagai Pendidikan Karakter Bagi Teruna-Teruni Banjar Kaja Dalam Rangkaian Hari Raya Nyepi Di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 5, Nomor 2.
Permana, Dany, 2017, “Inilah Tradisi Omed-omedan yang Pernah Menjadi Kontroversi Karena Kesalah Pahaman”,https://www.tribunnews.com/regional/2017/03/30/inilah-tradisi-omed-omedan-yang-pernah-menjadi-kontroversi-karena-kesalah-pahaman, Diakses pada tanggal 13 November 2021.
Widodo, Setyo, 2016, “Omed-omedan, Tradisi Ciuman yang Unik di Bali”, https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3360259/omed-omedan-tradisi-ciuman-yang-unik-di-bali, Diakses pada tanggal 13 November 2021.