
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkembang di suatu wilayah, yang sudah menjadi kebiasaan yang selalu dilakukan. Dalam kata lain, budaya juga dapat diartikan sebagai bagaimana cara hidup yang berkembang di suatu daerah, yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagai negara yang kaya akan kebudayaan, Indonesia bisa menjanjikan beragam jenis budaya yang unik yang tersebar di seluruh wilayahnya. Memiliki total 1.239 Warisan Budaya Takbenda (2013-2020) yang bisa dikutip dari laman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, keunikan dari masing-masing kebudayan inilah yang pada akhirnya mengantarkan kita menuju ke spirit keberagaman kebudayaan. Bali, pulau dengan berjuta keindahan kebudayaannya, juga mempersembahkan satu lagi ragam keunikan budaya yang khas.
Sebagai sesuatu yang dapat mempengaruh banyak aspek dalam kehidupan manusia, budaya bisa terbentuk dari banyak aspek yang terbilang rumit, seperti politik, adat istiadat, bahasa, pelaksanaan upacara agama, bahkan sapai sistim agama. Melalui hubungan tersebut, budaya pada akhirnya berfungsi sebagai pembentuk sikap dan perilaku individu dalam kelompok, meningkatkan kebaikan sistim sosial (stabilitas sosial), sebagai identitas bagi satu individu di suatu kelompok, serta memiliki fungsi sebagai komitmen. Budaya pada akhirnya menjadi hal yang memberikan fasilitas untuk lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu. Keberagaman budaya yang dimiliki Pulau Dewata Bali juga tidak bisa lepas dari fungsi budaya itu sendiri. Sebagai salah satu fungsinya, fungsi komitmen membuat salah satu jenis budaya yang khas di Bali tercipta, yaitu ngusaba.
Ngusaba dapat diartikan sebagai pelaksanaan upacara selamatan desa (upacara yang diadakan/dikoordinir oleh desa sebagai bentuk selamatan atau penguapan rasa syukur kepada sang pencipta, atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Pencipta). Dalam pelaksanaannya, ada dua jenis ngusaba yang umum dilaksanakan: Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini. Sebagai salah satu bentuk Yadnya atau persembahan, Menurut Lontar Widhi Sastra, Ngusaba Nini merupakan upacara yang bertujuan untuk negtegang toya, sedangkan Ngusaba Desa biasanya dilaksanakan oleh masing-masing desa adat untuk negtegang bumi (menjaga bumi dari kegoyahan; menjadikan bumi kuat).
Berbicara tentang budaya dan ngusaba, ngusaba pada akhirnya diadakan dan terus dilakukan turun temurun hingga sekarang karena adanya fungsi komitmen pada budaya. Sebagai salah satu jenis budaya, ragam keunikan masing-masing ngusaba, utamanya ragam ngusaba desa di setiap daerah tentu merupakan salah satu hal menarik untuk dibahas. Pasalnya, di salah satu kabupaten saja, Kabupaten Karangasem, memiliki lebih dari 5 jenis ngusaba yang memiliki keunikan berbeda di setiap daerahnya (desa). Kabupaten Karangasem dengan 8 kecamatannya ternyata memiliki ngusabadesa yang berbeda-beda jika ditinjau dari nama, tujuan, serta ke-khas-an yang membuat keunikannya semakin menarik untuk ditinjau.
Ngusaba Gede yang sering disebut sebagai Ngusaba Dangsil (karena sarana upakara yang digunakan adalah dangsil: bebantenan dirangkai dengan sedemikian rupa yang dibuat bertingkat seperti meru). Dilaksanakan di Desa Adat Bungaya, Usaba ini pada awalnya dilaksanakan sebagai titah dari I Gusti Ngurah Alit Bungaya pada masa pemerintahan Dalem Demade. Dalem Demade bahkan memberikan 108 petak sawah kepada warga bungaya untuk tetap bisa melestarikan semua tradisi atau upacara tersebut. Usaba ini biasanya dilakukan 10 tahun sekali, bahkan terkadang lebih dikarekanakan pelaksanaannya memerlukan biaya yang cenderung besar. Dangsil atau banten tinggi menyerupai meru merupakan salah satu keunikan pada upacara ini. Selain itu, keunikan lainnya adalah prosesi upacaranya yang dibumbui ujian fisik dan metal bagi para calon Deha (Gadis Bungaya) dan Teruna (Pemuda Bungaya) serta lamanya pelaksanaan yang tidka tentu. Namun secara garis besar, pelaksanaan usaba ini dirangkaikan sebagai berikut: Melasti, Mesesedep, Tarian Anda, dan Puncak Upacara.

Ngusaba Guling atau biasa disebut sebagai Ngusaba Dalem, merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan di Desa Adat Timbrah Karangasem. Diadakan setiap satu tahun menurut perhitungan kalender Hindu Bali (420 hari) pada Sukra Pon Kewulu. Tradisi atau kebudayaan ini ditujukan atau diadakan untuk memohon kepada Ida Batari Durga, sebagai saksi dari Dewa Siwa, agar memberikan kesejahteraan dan keselamatan kepada krama desa, utamanya krama Desa Timbrah. Hal unik yang paling menarik perhatian dari dilaksanakannya usaba ini adalah persembahan babi guling beserta banten yang biasanya terlihat seperti berbaris. Hal ini disebabkan karena pada setiap berlangsungnya upacara, setiap keluarga menghaturkan babi guling, terkecuali ekeluarga kurang mampu yang bioleh menghaturkan bebek guling sebagai penggantinya. Persembahan babi guling ini merupakan wujud terima kasih warga desa atas limpahan karunia berupa hasil bumi dan ternak. Setelah dipersembahkan dan dihaturkan, pada Ngusaba Guling biasanya dilanjutkan dengan tradisi ngejot atau memberikan hasil persembahan guling kepada orang-orang tidak mampu.

Selain Ngusaba Desa dan Ngusaba Guling sebenarnya masih ada banyak ngusaba desa lainnya yang memiliki keunikan dan khas masing-masing, seperti Ngusaba Muu-Muu di Desa Adat Jasri, Ngusaba Gumang, Ngusaba Sumbu, dan masih banyak lagi. Melalui perbedaan dan keunikan di masing-masing Ngusaba, dapat ditarik beberapa kesamaan berupa spiri yang dapat kita implementasikan, seperti spirit kebersamaan yang seperti tidak bisa dipisahkan dari masing-masing pelaksanannya. Seperti misalnya, pada pelaksanaan usaba dangsil yang khas dengan banyaknya rangkaian yang dilaksanakan ada akhirnya akan menimbulkan rasa saling membantu dan menumbuhkan urgensi pentingnya menjalankan segala rangkaian dengan bekerja sama. Selain itu, contoh lainnya pada pelaksanaan Ngusaba Guling yang biasa dirangkaikan dengan tradisi ngejot yang pada akhirnya bertujuan untuk menjaga har
monisasi, kerukunan, serta kebersamaan warga Desa Adat Timbrah. Melalui dua contoh tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa melalui perbedaan keunikan budaya yang ada, kita ternyata bisa menarik sesuatu yang bermanfaat, yang dalam hal ini adalah spirit keberagaman. Sudah saatnya kita tidak menjadikan keragaman budaya sebagai sesuatu yang menjadikan kita berbeda bahkan menjadikan budaya sebagai batas kita dalam berkarya.
Penulis:
Putu Ratih Padmarini Gantari Sari – Jegeg Karangasem 2021
Sumber-sumber:
- Suisma, Nyoman, (2019) “Selintas Tentang Ngusaba” diakses tanggal 17 November 2021 pada https://dpbanyuatis.blogspot.com/2019/02/selintas-tentang-ngusaba.html
- Sirah Bali Info (2020) “Ngusaba Guling, Wujud Terima Kasih Krama Desa Timbrah Karangasem” diakses tanggal 17 November 2021 pada https://sirahbaliinfo.com/sirah-taksu/ngusaba-guling-wujud-terima-kasih-krama-desa-timbrah-karangasem/
- Dinas Kebudayaan Kabupaten Karangasem “Usaba Dangsil, Usaba Aya/Usaba Gede”, diakses tanggal 17 November 2021 pada http://disbud.karangasemkab.go.id/data-budaya/usaba-dangsil-usaba-aya-usaba-gede/