Di Bali, terdapat sebuah ungkapan yang kerap digunakan masyarakat untuk memuji kecantikan Gadis Bali. Ungkapan tersebut berbunyi “Jegeg sekadi bulan di Pejeng”, yang berarti cantik bak bulan di Desa Pejeng. Namun, apakah makna yang sebenarnya dari bulan di Pejeng? Apakah bulan yang terlihat dari Desa Pejeng berbeda dengan yang terlihat dari tempat lain?
Desa Pejeng dan Bedulu yang berada di bagian tengah Kabupaten Gianyar merupakan kawasan konservasi budaya dan diyakini sebagai pusat Kerajaan Bali Kuno. Di Kedua desa ini terdapat berbagai peninggalan sejak zaman purbakala, salah satunya adalah Bulan Pejeng, yang dijadikan ungkapan untuk memuji kecantikan Gadis Bali. Bulan Pejeng ini berada di utama mandala Pura Penataran Sasih yang terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring.

Menurut mitos yang berkembang di masyarakat, Bulan Pejeng dianggap sebagai bulan yang jatuh ke bumi dan membuat kawasan sekitar menjadi terang benderang. Karena keindahannya, banyak yang ingin mencuri bulan tersebut. Namun, pencuri merasa silau akan cahayanya, sehingga bulan tersebut dikencingi. Akibatnya, Bulan Pejeng kini tidak bersinar lagi. Dalam cerita lainnya disebutkan, bahwa Bulan Pejeng adalah Subeng dari Kebo Iwa, seorang patih yang kuat dan sakti dari Kerajaan Bedahulu.
Namun sejatinya, Bulan Pejeng adalah nama julukan untuk menyebut sebuah nekara perunggu dari zaman prasejarah, yaitu dari masa perundagian yang berkembang kira-kira 2000 tahun silam. Nekara ini memiliki bentuk yang menyerupai kendang atau bedug dengan tinggi 1.86 m dan garis tengah bidang pukulnya sepanjang 1.60 m, berpinggang dibagian tengah, mempunyai dua sisi bidang pukul, dan satu bagian bidang pukulnya terbuka. Terdapat empat pasang hiasan bermotif kepala atau kedok muka dengan mata bulat melotot, hidung berbentuk kerucut memanjang dan telinganya panjang memakai anting-anting dari mata uang. Hiasan ini diyakini sebagai simbol nenek moyang yang dapat melindungi arwah seseorang dalam perjalanannya ke dunia akhirat, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat yang masih hidup. Terdapat pula hiasan dengan motif lain seperti bulu burung merak yang dipercayai sebagai simbol kematian dan sekaligus juga sebagai pengantar arwah ke dunia akhirat, hiasan bintang sebagai simbol kebesaran alam semesta, serta hiasan tumpal sebagai lambang kehidupan.

Berdasarkan hasil kajian arkeologi, diketahui bahwa Bulan Pejeng adalah bukti arkeologis penting yang merepresentasikan kehidupan masyarakat perundagian di Bali yang berkembang sekitar 2000 tahun yang lalu. Di masa silam, nekara perunggu memiliki beberapa kegunaan yaitu sebagai genderang perang, sebagai benda upacara yang mendatangkan hujan untuk kepentingan pertanian, sebagai lambang nenek moyang, dan sebagai kekuatan pelindung bagi masyarakat. Saat ini Bulan Pejeng disimpan di halaman utama Pura Penataran Sasih pada Pelinggih Ratu Bhatara Sasih, yang diyakini oleh masyarakat sebagai media untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan.
Penulis:
Ni Komang Tri Puspadewi – Jegeg Gianyar 2021
Sumber-sumber:
Artanegara, 2017. Konservasi Di Pura Penataran Sasih, Pejeng, Bali. [online] Tersedia di: <http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/konservasi-di-pura-penataran-sasih-pejeng-bali/> [Diakses pada 18 November 2021]
Artanegara, 2019. Pura Penataran Sasih. [online] Tersedia di: <http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/pura-penataran-sasih/> [Diakses pada 18 November 2021]
Artanegara, 2019. “BULAN PEJENG” REPRESENTASI TEKNOLOGI DAN KARYA SENI PRASEJARAH BALI. [online] Tersedia di: <http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/bulan-pejeng-representasi-teknologi-dan-karya-seni-prasejarah-bali-2/> [Diakses pada 18 November 2021]