
Pulau Dewata terkenal dengan tariannya yang indah dan memukau. Tentu, tarian tradisional Bali adalah budaya warisan leluhur yang memiliki keindaahan, keunikan serta taksu yang menjadikan ciri khas dari masing-masing tarian Bali. Oleh karena itu, banyak wisatawan yang datang ke Pulau Bali tak hanya berwisata, namun untuk melihat beragam tari yang berasal dari Bali. Di Bali, tari mendapat perhatian besar oleh masyarakat, karena menurut masyarakat Bali tari merupakan bagian dari jiwa mereka yang di ekspresikan melalui gerakan. Tari ibarat bahasa gerak yang merupakan alat ekspresi manusia sebagai media komunikasi yang universal dan dapat dinikmati oleh siapa saja dan pada waktu kapan saja. Tari juga ibarat keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Berbagai macam jenis tari yang sudah ada di daerah Bali, salah satu di antaranya adalah tari Telek. Tari ini merupakan salah satu tari yang digunakan sebagai sarana pelengkap pada saat masyarakat Bali melaksanakan suatu upacara keagamaan.
Tari Telek yang merupakan salah satu jenis tari tradisional, dimana asal usulnya tidak diketahui secara pasti, hal ini disebabkan oleh kurangnya data yang mengungkapkan asal mula tarian ini. Namun saat ini baru Tari Telek Anak Anak di Desa Jumpai yang di ketahui sejarah terciptanya tarian. Tetapi informasi yang didapat didapat masih akan dibandingkan dengan sumber-sumber literatur yang ada kaitannya dengan Tari Telek di Bali. Yang mana sejarah dari Tari Telek Anak-Anak di Desa Jumpai itu sendiri adalah di awali dari penemuan kayu yang terdampar (kampih) oleh I Sweca alias Nang Turun di pantai dan sudah berbentuk calonan (sebuah kayu yang belum berwujud) Rangda. Sambil membawa pahat dan temutik (pisau peraut kayu), Nang Turun membawa kayu tersebut sambil menggembala sapi. Ketika itu, cuaca sangat panas dan ia pun berteduh di Pura Dalem Kekeran. Semasih ia sadar, ia mendengar suara “tempe kai” (tirulah aku) dan datang suatu bayangan berwujud Rangda. Dengan segera ia meniru bayangan tersebut, baru selesai wajahnya dan belum bertelinga, bayangan Rangda itu sudah menghilang, sehingga perwujudan Rangda sampai sekarang tidak ada telinganya. Oleh karena tapel tersebut dianggap terlalu besar setelah selesai dibuat oleh Nang Turun dan memiliki kekuatan magis yang terlalu besar (misalnya saat dipentaskan/mesolah aura magis dari tapel tersebut menimbulkan pagar-pagar rumah masyarakat di sekitar tempat pementasan roboh), atas petunjuk seorang yang kesurupan dibuatlah tapel yang baru dengan meminta izin pada penunggu pohon Pole ke setra Akah dan membawa sesajen. Namun, sebelum itu, pada suatu masa di Desa Jumpai mengalami wabah penyakit hingga rakyat yang berjumlah 800 orang tinggal 300 orang. Karena banyak yang mati dan ada pula yang meninggalkan desa mengungsi ke Badung, Seseh, dan Semawang, banjar menjadi menciut dari 5 banjar menjadi 2 banjar. Saat itu, masyarakat Desa Jumpai menganggap kejadian tersebut diakibatkan oleh daya magis yang ditimbulkan oleh Rangda, Barong, dan Telek yang setiap mesolah menggunakan tapel yang dibuat oleh Nang Turun dari kayu yang ditemukan di tepi pantai. Kemudian, oleh masyarakat Desa Jumpai tapel-tapel tersebut dihanyut kembali ke pantai. Akan tetapi, tapel-tapel tersebut datang kembali diusung oleh mahkluk halus (gamang) ditempatkan di pinggir pantai lagi. Berselang beberapa hari, tapel-tapel tersebut ditemukan oleh sekelompok masyarakat Desa Jumpai di pinggir pantai. Selanjutnya, masyarakat Desa Jumpai meyakini bahwa tapel-tapel tersebut memang untuk Desa Jumpai dan masyarakat menyimpannya di Pura Dalem Penyimpenan (sampai sekarang). Oleh karena tapel tersebut terlalu besar daya magisnya, maka atas kesepakatan tetua-tetua di Desa Jumpai dibuatkanlah tapel baru lagi dengan fungsi yang sama, yaitu menghindari Desa Jumpai dari wabah penyakit. Adapun yang membuat tapel-tapel tersebut (Barong, Rangda, dan Telek) bernama Kaki Patik bersama Tjokorda Puri Satria Kanginan. Upacara pamlaspas dipimpin oleh Ida Pedanda Gde Griya Batu Aji yang berasal dari Puri Satria dan diselenggarakan di Desa Akah. Pada saat itu pula, selesai dibuat tapel Barong, Rangda, dan Telek secara bersama untuk di Desa Akah dan untuk di Desa Muncan dengan warna tapel yang berbeda-beda (Desa Akah warna tapelnya putih, Desa Muncan berwarna hitam, dan Desa Jumpai berwarna Merah), sehingga kini Bhatara Gde di Desa Akah dan di Desa Jumpai dianggap mesemeton (bersaudara).
Tari Telek ini dibawakan oleh empat penari yang boleh ditarikan oleh laki-laki ataupun wanita yang masih berusia anak-anak sampai memasuki masa truna bunga (akil balik kira-kira berusia 6 tahun sampai 12 tahun). Keempat penari itu memakai topeng berwarna putih dengan karakter wajah yang lembut dan tampan serta diiringi Tabuh Bebarongan. Baik di Banjar Kangin maupun Banjar Kawan, tarian ini tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa dirangkaikan dengan Tari Jauk, Tari Topeng Penamprat, Bhatara Gede (Barong), Rarung dan Bhatara Lingsir (Rangda). Seluruh unsur tarian itu berpadu membangun satu-kesatuan cerita yang utuh dengan durasi sekitar dua jam. Akhir pertunjukan diwarnai dengan atraksi narat/ngunying yaitu menusukkan keris ke dada yang bersangkutan maupun ke dada Bhatara Lingsir.
Adapun cerita yang dipergunakan dalam pertunjukan ini, sebagai berikut. Diceritakan bahwa Bhatari Giri Putri turun ke bumi untuk mencari air susu lembu, untuk suaminya, Bhatara Çiwa, yang berpura-pura sakit. Bhtara Çiwa ingin menguji keteguhan hati istrinya. Di bumi Bhatari Giri Putri bertemu dengan seorang pengembala lembu yang sedang memeras susu, lalu beliau mendekatinya dan meminta air susu lembunya untuk obat suaminya. Si pengembala akan memberinya apabila Bhatara Giri Putri mau membalas cinta asmaranya dan Bhatara Giri Putri menyetujuinya. Sebenarya si pengembala tersebut adalah Bhatara Çiwa sendiri yang ingin menguji kesetiaan istrinya. Setelah air susu lembu diperolehnya, lalu dihaturkan kepada Bhatara Çiwa, tetapi Bhatara Çiwa ingin menguji air susu tersebut dengan memasang nujumnya yang dilakukan oleh Bhatara Gana. Ternyata air susu tersebut didapat dengan jalan mengorbankan dirinya (berbuat serong). Seketika itu juga Bhatara Çiwa marah dan membakar lontar nujumnya. Bhatara Çiwa lalu mengutuknya menjadi Durga dan tinggal sebagai penghuni kuburan yang bernama Setra Ganda Mayu dengan hambanya yang bernama Kalika. Sang Hyang Kumara yang masih kecil ditinggal oleh ibunya, Bhatara Giri Putri, menangis kehausan. Bhatara Çiwa lalu mengutus Sang Hyang Tiga untuk mencari ibunya ke bumi. Pertama, turunlah Sang Hyang Wisnu dengan berubah menjadi Telek menyebar ke empat penjuru, tetapi tidak menemukannya. Kedua, turunlah Sang Hyang Brahma yang berubah bentuk menjadi Jauk Penamprat yang juga tidak menemukannya. Terakhir, turunlah Sang Hyang Iswara yang berbentuk Banaspati Raja (Barong). Karena dekat dengan Setra Ganda Mayu, maka beliau melihat Kalika sedang bersemedi. Kemudian Kalika dikoyak-koyak maka timbul marahnya, dan terjadilah perang antara Kalika dengan Barong (Bhatara Iswara). Akhirnya Kalika kalah, lari menuju Bhatara Durga untuk melaporkannya. Pada saat itu Durga berbentuk Rangda, sehingga terjadilah pertempuran antara Barong dengan Rangda dan kemenangan ada pada Rangda.
Meskipun kita sudah mengetahui bahwa sekarang ini sudah banyak tercipta tari kreasi baru, namun Tari Telek sendiri yang sudah tercipta cukup lama, hingga sekarang masih ada juga yang menarikannya. Seperti yang terlihat di Desa Jumpai, Klungkung , sampai sekarang ini masyarakat di desa tersebut masih mempercayai bahwa Tari Telek itu sendiri mampu menangkal berbagai wabah penyakit muncul di desa tersebut. Tarian ini ditarikan setiap 15 sekali dan ditarikan pada setiap rainan Kajeng Kliwon dengan penari yang berjumlah empat orang anak-anak laki-laki atau perempuan. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa hingga saat ini Tari Telek masih berkembang di daerah-daerah tertentu, serta masi dipentaskan disetiap upacara adat di Bali sesuai dengan konsep desa, kala, patra.
Penulis:
Made Fandy Darma Putra – Bagus Klungkung 2021
Sumber-sumber:
Ida Bagus Suratnaya, Drs.1997. Kesenian Daerah dan Sosial Budaya. Denpasar.
I Made Bandem, Dr. 1982. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar. Akademi Seni Tari Indonesia
Purnami, Ni Luh. Makalah Tari Telek Di Desa Jumpai Klungkung. https://purnamiap.blogspot.com/2013/09/makalah-tari-telek-di-desa-jumpai.html?m=1 . Diakses pada 17 Nopember Pukul 15.25 Wita.
Sejarah Tari Telek Khas Jumpai Klungkung Bali https://youtu.be/jjv9t0Bz3O4 . Diakses pada 18 Nopember 2021 Pukul 18.15 Wita.